Laman

Selasa, 30 April 2013

Penerapan Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum di Tengah Krisis Demokrasi


REVIEW3
Penerapan Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum di tengah Krisis Demokrasi

OLEH:
Yanto Sufriadi
Fakultas Hukum Universitas Hazairin
Jl. Jenderal Ahmad Yani No. 1 Bengkulu
 

Penerapan Konsep Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum

Dalam tradisi pemikiran legal-positivism, yang banyak dianut dalam negara demokrasi sekarang ini, hukum dikonsepsikan sebagai produk legislasi. Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dihasilkan melalui proses legislasi nasional. Hukum berlaku, semata-mata karena telah ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, tanpa melihat apakah isinya adil atau tidak adil. Dalam sistem ini, pelaku hukum (birokrasi dan hakim), sesuai dengan doktrin dalam analytical jurisprudence, hanya bertugas sebagai corong undang-undang. Dalam tradisi pemikiran legal-positivism, yang banyak dianut dalam negara demokrasi sekarang ini, hukum dikonsepsikan sebagai produk legislasi. Hukum adalah peraturan perundang-undangan yang dihasilkan melalui proses legislasi nasional. Hukum berlaku, semata-mata karena telah ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, tanpa melihat apakah isinya adil atau tidak adil. Dalam sistem ini, pelaku hukum (birokrasi dan hakim), sesuai dengan doktrin dalam analytical jurisprudence, hanya bertugas sebagai corong undang-undang.
Penggunaan pemikiran legal-positivism, dalam situasi hukum perundangundangan yang elitis, akan menyebabkan kesenjangan (ketidakadilan) ekonomi dan kemiskinan (ketidaksejahteraan) rakyat akan semakin meluas, sebab kemacetan demokrasi yang terjadi dibawah tekanan neoliberalisme, akan menyebabkan hukum yang dihasilkan dari proses legislasi akan cenderung berpihak pada kepentingan elit dan mengabaikan keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak. Karena itu, untuk pemulihannya diperlukan upaya-upaya yang inovatif guna menemukan konsep hukum yang lebih berpihak kepada keadilan dan ksejahteraan rakyat.
Menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Inilah hukum progresif, yang menganut ideologi hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat. Hukum progresif ini, ditawarkan untuk mengatasi krisis di era global sekarang ini. Dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum, harus memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan kebahagian), harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum.
Proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum dalam mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum, dapat melakukan perubahan yang kreatif terhadap peraturan yang ada tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Peraturan yang buruk, tidak harus menjadi penghadang bagi para pelaku hukum untuk menghadirkan keadilan bagi rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru terhadap suatu peraturan.
Interessenjurisprudenz, tegas-tegas menolak pertimbangan yuridis yang legalistik, yang dilakukan secara pasang-jarak dan in abstracto. Ia tidak memulai pemeriksaan dari bangunan peraturan secara hitam-putih, melainkan dari konteks dan kasus khusus di luar narasi tekstual aturan itu sendiri. Sebabnya adalah karena keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan melalui proses logis-formal. Keadilan justeru diperoleh melalui intuisi. Karena itu, argumen logis-formal “dicari” sesudah keadilan ditentukan untuk membingkai secara yuridis-formal keputusan yang diyakini adil tersebut.

Dalam konsep hukum yang proresif, hukum tidak mengabdi pada dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Ini berbeda dengan tradisi analytical jurisprudence yang cenderung menepis dunia luar dirinya; seperti manusia, masyarakat dan kesejahteraannya.18 Dengan demkian, hukum harus bersifat responsif. Regulasi hukum akan selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan sosial yang melampaui narasi tekstual aturan.
Hukum progresif, memiliki logika yang mirip dengan Legal Realism, melihat dan menilai hukum dari tujuan-tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibatakibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu, yang karenanya dari sudut pandang etis, dapat disebut etika teleologis. Cara berpikir teleologis ini, bukan tidak memperhatikan hukum. Aturan penting, tetapi itu bukan ukuran terakhir yang lebih diutamakan adalah tujuan dan akibat. Sebab itu, pertanyaan sentral dalam etika teleologis, adalah apakah suatu tindakan itu bertolak dari tujuan yang baik, dan
apakah tindakan yang tujuannya baik itu, juga berakibat baik.
            Dalam pandangan hukum progresif, pelaku hukum harus memiliki kepekaan pada persoalan-persoalan krusial dalam hubungan–hubungan manusia, termasuk keterbelengguan manusia dalam struktur-struktur yang menindas; baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Dalam konteks ini, hukum progresif harus tampil sebagai institusi yang emansipatoris (membebaskan).
            Hukum progresif yang menghendaki pembebasan dari tradisi keterbelengguan, memiliki kemiripan dengan pemikiran Roscoe Pound tentang hukum sebagai alat rekayasa sosial (social engineering). Usaha social engineering, dianggap sebagai kewajiban untuk menemukan cara-cara yang paling baik bagi memajukan atau mengarahkan masyarakat.19 Bukti monumental tentang penggunaan hukum sebagai alat perubahan sosial, terjadi di Amerika Serikat pada 1954. Keputusan Mahkamah Agung Amerika untuk mengubah perilaku orang kulit putih Amerika, yang sebelumnya menaruh sikap prasangka pada orang-orang negro. Untuk menghilangkan sikap tersebut, Mahkamah Agung melalui putusannya, bahwa pemisahan ras di sekolah-sekolah negeri, bertentangan dengan konstitusi Amerika. Edwin M. Schur, melihat putusan tersebut sebagai upaya pengangkatan suatu moralitas ke dalam bentuk perundang-undangan Amerika.
            Hukum progresif lebih mengutamakan tujuan dan konteks dari pada teks aturan,maka diskresi mempunyai tempat yang penting dalam penyelenggaraan hukum. Thomas Aaron merumuskan diskresi sebagai : ...power authority conferred by law to action on the basic of judgement or conscience, and it use is more on idea of moral than law”. Dalam konteks diskresi, para penyelenggara hukum dituntut untuk memilih dengan bijaksana bagaimana ia harus bertindak. Otoritas yang ada pada mereka berdasarkan aturan-aturan resmi, dipakai sebagai dasar untuk menempuh cara yang bijaksana dalam menghampiri kenyataan tugasnya berdasarkan pendekatan moral dari pada ketentuan-ketentuan formal. Weston menyatakan “decicion making has been termed the selection of the best, the most practical or satisfactory course of action.
            Dalam penyelenggaraan hukum diskresi merupakan faktor wewenang hukum
yang dijalankan secara bertanggungjawab dengan mengutamakan pertimbangan moral dari pada peraturan abstrak. Diskresi yang dilakukan seorang penyelenggara hukum, semata-mata atas dasar pertimbangan tentang kegunaan dan kefungsian tindakan itu dalam mencapai tujuan yang lebih besar demi menjaga kewibawaan hukum itu sendiri. Dalam kata-kata Louis A Redelet, ditegaskan bahwa “Law is not an end in itself. Propersly understood, it is a means ti higher end human affair, much as good order, justice.
            Diskresi dilakukan karena dirasakan sarana hukum kurang efektif dan terbatas sifatnya dalam mencapai tujuan hukum dan sosial. Menurut Doorn, tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam ketentuan hukum, seringkali begitu kabur, sehingga memberi kesempatan kepada pelaksananya untuk menambahkan/menafsirkan sendiri dalam konteks situasi yang ia hadapi.25 Tujuan-tujuan seperti keadilan, kepastian, keserasian, misalnya, adalah terlalu umum sehingga para pelaksana berpeluang mengembangkan penafsiran mengenai sekalian tujuan itu.26 Kehadiran pelaku hukum yang arif, visioner, dan kreatif, mutlak diperlukan untuk memandu pemaknaan yang kreatif terhadap aturan-aturan yang demikian itu.
            Penerapan hukum progresif, yang pada dasarnya terarah kepada para pelaku hukum ini, diharapkan akan dapat mengarahkan hukum yang dihasilkan oleh proses legislasi, yang cenderung elitis, untuk mengarah pada kepentingan keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak.
            Pintu masuk bagi penerapan hukum progresif dalam praktik pengadilan di Indoensia, secara formal telah diberikan oleh UU Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dalam rangka itu, hakim diwajibkan untuk menggali nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.27 Ini berarti bahwa hakim tidak sekedar bertugas menerapkan peraturan apa adanya, tetapi bagaimana penerapan itu dapat mewujudkan keadilan. Di sini kreativitas hakim menjadi sangat menentukan.
            Hasil penelitian terhadap sengketa dalam pelaksanaan kontrak,menunjukkan bahwa pengadilan di Indonesia pada awalnya sangat mengedepankan asas facta- sunt servanda dari pada asas iktikad baik. Mengedepankan asas facta sunt servanda, berarti mengedepankan isi perjanjian sesuai dengan apa yang secara formal sudah disepakati oleh para pihak secara sah, dan itulah yang oleh pengadilan diberlakukan sebagai undang-undang bagi para pihak. Ini merupakan gambaran dari cara berpikir yang legal-positivism, yang hanya memaknai aturan (dalam hal ini perjanjian) secara formaltektual, yang mengabaikan keadilan. Dalam penelitian ini juga ditunjukkan bahwa belakangan, sikap pengadilan Indonesia ternyata bergeser ke arah yang lebih mengedepankan iktikad baik. Mengedepankan iktikad baik, berarti pengadilan tidak lagi terbelenggu untuk mengikuti teks perjanjian, melainkan lebih melihat pada nilainilai kepatutan dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ini merupakan gambaran bahwa dalam memutus sengketa pelaksanaan kontrak, pengadilan Indonesia, telah bergeser menjadi progresif.
            Dalam penelitian lain, terkait dengan pemaknaan tindakan melawan hukum dalam Tindak Pidana Korupsi, masih banyak hakim yang terkungkung dengan cara berpikir yang legal-positivism. Tindakan melawan hukum hanya dimaknai terbatas pada rumusan teks yang sudah ada dalam peraturan perundang-undangan, tanpa memperdulikan nilai-nilai kepatutan dan keadilan. Akibatnya, sekalipun tindakan terdakwa bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan, tidak sedikit terdakwa yang diputus bebas oleh Pengadilan, karena dianggap tidak berbukti telah melakukan perbuatan yang melawan perundang-undangan.
            Dalam penelitian ini juga ditunjukkan adanya hakim yang berpikir progresif, yang memaknai tindakan melawan hukum sebagai tindakan yang melanggar kepatutan. Nilai kepatutan tersebut tidak terdapat di dalam teks, tetapi digali dalam masyarakat, sehingga dalam putusannya, terdakwa tidak bisa lepas dari hukuman pidana.Sekalipun sudah terdapat hakim yang berpikir progresif, tetapi penelitian ini menyimpulkan bahwa cara berpikir legal-positivism masih menjadi mainstream di kalangan hakim di Pengadilan.
           
Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan di atas, tradisi berpikir hakim di Pengadilan, sudah mulai diwarnai oleh cara berpikir yang progresif. Tradisi berpikir yang progresif ini perlu terus didorong, agar benar-benar menjadi budaya hukum dikalangan hakim. Apabila para hakim, sudah tidak lagi terbelenggu dengan tradisi berpikir legal-positivism, maka tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, akan menjadi lebih memungkinkan, sekalipun hukum perundang-undangan yang dihasilkan dalam proses legislasi cenderung elitis.

Penutup

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam bagian pembahasan di atas, dapat disimpulkan : Pertama, globalisasi telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan (ketidakadilan) ekonomi dan meluasnya kemiskinan. Kemiskinan akan berdampak buruk terhadap demokrasi. Demokrasi yang buruk, cenderung menghasilkan produk hukum yang elitis, mengabaikan keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak.
Kedua, dalam situasi produk legislasi yang elitis, maka penerapan hukum yang didasarkan pada tradisi legal-positivism, akan semakin memperluas ketidakadilan dan kemiskinan. Karena, itu, di tengah situasi produk legislasi yang elitis, penerapan hukum secara progresif, merupakan cara alternatif yang lebih memungkinkan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Kehadiran para pelaku hukum yang visioner, peka terhadap nilai-nilai moral dan keadilan, jujur, serta amanah akan dapat menghasilkan putusan-putusan hukum yang lebih berpihak kepada keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak, sekalipun produk hukum yang dihasilkan oleh proses demokrasi cenderung elitis. Ketiga, praktik pengadilan di Indonesia, menunjukkan mulai berkembangnya cara-cara penerapan hukum yang progresif, namun tradisi legal-positivism masih menjadi mainstream para hakim.


 Daftar Pustaka

  • -       Aaron, Thomas, The Control of Police Discretion, Springfield Charles D. Thomas, 1960.
    -       Casel, Manuel, The Rise of The Fourth World, dalam David Held and Anthony McGrew (Eds), The Global Transformations Reader : An Instroduction to Globalization Debate,Cambridge Polity Press, 2000
    -       Djiwandono, Sudradjat, 2000, Membangun Kembali Ekonomi Indonesia Dengan Paradidma Baru, (Cambridge, 27 Juni 2000) dalam http//www.pacific.net.id/pakar/s/000627.html,
    -       Deliarnov, Ekonomi Politik, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006.
    -       Fal, M., Penjaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya Paramita,Jakarta, 1991.
    -       Held, David, at al., Global Transformastion, Politics, Economic and Culture, Standford University Press, 1999.
    -        Hirts, Paul dan Thompson, Graham, Globalisasi adalah Mitos, Yayasan Obor, Jakarta,2001.
    -       Khairandy, Ridwan, Makna, Tolok Ukur, Pemaknaan dan Sikap Pengadilan di Indonesia Terhadap Iktikad Baik Dalam Pelaksanaan Kontrak, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum UII, Edisi Khusus, 16 Oktober 2009.
    -       M. Haque, Shamsul, Governance and Bureaucracy in Singapore, Contemporary Reformand Implications, Internastional Political Science Review, Vol. 25 No. 2 Tahun 2004.
    -       Noer Effendy, Tadjudin, Globalisasi dan Kemiskinan di Indonesia Peluang dan Hambatan Upaya Penanggulangan Kemiskinan, makalah pada Forum INFD Pertama, 2001.
    -       Ohmae, Kenich, Hancurnya Negara Bangsa, Bangkitya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia Tak Terbatas, Qalam, Yogyakarta, 2002.
    -       Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Perubahan Sosial : suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, Alumni, Bandung, 1983.
    ______, Makalah, Konsep dan Karakter Hukum Progresif, Fakultas Hukum Undip
    bekerja sama dengan Program Doktor Ilmu Hukum Undip, Semarang, Desember 2007.
    -       Robinson, Wiliam I., Neoliberalisme : Elit Global dan Transisi Guatemala : sebuah Analisis Kritis Makrostruktural, dalam Wiliam I . Robinson, (Ed) Hantu Neoliberalisme, C-Books, Jakarta, 2003
    -       Scholte, Jan Aart, Globalization : A Critical Introduction, New York; St. Martin Press,2000.
    -       Syamsudin, M., Kecenderungan Paradigma Berpikir Hakim Dalam Memutus Perkara Korupsi, Jurnal Media Hukum Fakultas Hukum UMY, Vol. 15 No.2 Desember 2008.
    -       Weston, Paul M., Suvervision in the Administration of Justice Police Corrections Cours,Springfield : Charles D. Thomas, 1965.
    -       Winarno, Budi, Globalisasi dan Krisis Demokrasi, MedPress, Yogyakarta, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar