Laman

Selasa, 30 April 2013

Penerapan Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum di Tengah Krisis Demokrasi

REVIEW 2
Penerapan Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum di tengah Krisis Demokrasi

OLEH:
Yanto Sufriadi
Fakultas Hukum Universitas Hazairin
Jl. Jenderal Ahmad Yani No. 1 Bengkulu
 

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Dampak Globalisasi terhadap Keadilan, Kesejahteraan dan Demokrasi

Globalisasi ekonomi yang terjadi sekarang ini, sesungguhnya digerakkan oleh
neoliberalisme, yakni suatu “isme” dengan misi khusus, yaitu mengurangi campur tangan negara dalam ekonomi untuk diganti dengan pasar. Artinya pasar ingin dijadikan satu-satunya cara atau sistem untuk mengatur perekonomian dan sekaligus satu-satunya tolok ukur untuk menilai keberhasilan semua kebijakan pemerintah. Sebagai implikasinya, masyarakat dan negara hanyalah instrumen yang diperlukan untuk menjamin terjadinya akumulasi kekayaan oleh anggota-anggota partikelir dalam masyarakat. Peran negara harus surut, digantikan oleh individu-individu swasta.
            Faham neoliberalisme ini, dalam pekembangannya telah memberikan pengaruh besar terhadap banyak negara di dunia, tidak terkecuali negara-negara yang selama ini menganut negara kesejahteraan (welfare staats). Di negara-negara berkembang, agenda neoliberalisme mudah masuk karena pengaruh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti International Monetery Found (IMF). Internastional Bank for Reconstruction and Development (IBRD), dan World Trade Organization (WTO).
IMF bertugas sebagai pengatur sistem keuangan dan sistem nilai tukar internasional. Selain itu juga dirancang untuk menolong negara-negara yang mengalami kesulitan dalam neraca pembayaran, dengan memberikan bantuan hutang luar negeri. Fungsi lainnya adalah menstabilkan ekonomi global. (IBRD) yang
kemudian lebih dikenal dengan World Bank (Bank Dunia), umumnya menyediakan paket hutang untuk proyek-proyek dan program-program pembangunan infrastruktur, pendidikan, pemberantasan kemiskinan, menjaga lingkungan dan sejenisnya.
Misi utama WTO adalah menghilangkan sekat-sekat perdagangan, dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang harus ditaati semua negara anggota yang ikut menandatangani perjanjian. Harapan yang ingin dicapai ialah mengatur jalannya perdagangan bebas dunia, baik perdagangan barang, jasa-jasa dan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dan investasi yang terkait dengan perdagangan.
Dalam kiprahnya menyokong neoliberalisme, IMF dan Bank Dunia, banyak melakukan ‘penekanan’ terhadap negara-negara yang ‘ditolong’-nya, untuk melakukan kebijakan liberalisasi, deregulasi dan privatiasi, yang merupakan agenda politik neoliberal untuk membuka pasar nasional, dengan menyurutkan peran negara-negara yang ‘ditolong’-nya dalam perekonomian. Misi IMF dan Bank Dunia ini memperlihatkan hasil yang luar biasa, yang ditandai oleh terbukanya pasar nasional di hampir seluruh negara di dunia.
Sementara WTO, menopang neoliberalisme dengan mewadahi negara-negara untuk  membentukkesepakatankesepakatan dalam perdagangan internasional di antara negara-negara anggota, yang pada akhirnya ditujukan untuk menghapus segala  bentuk hambatan dalam perdagangan internasional; baik hambatan tarif maupun hambatan non tarif.
Ketika sekat-sekat perdagangan antar negara sudah terbuka, berkat kebijakan deregulasi yang dilakukan oleh negara-negara anggota, perdagangan menjadi mendunia. Arus modal, barang dan jasa, menjadi bebas keluar masuk suatu negara tanpa hambatan. Inilah yang disebut globaliasi ekonomi sekarang ini, yang secara filosofis mengacu pada faham individual, liberal, kapitalis, dan yang mengedapankan nilai-nilai kebebasan dan keadilan individual.
Deregulasi yang dilakukan negara-negara berkembang untuk menyurutkan peran pemerintah ini, umumnya dilakukan oleh negara-negara berkembang yang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap dana pinjaman dari IMF dan Bank Dunia baik untuk menutup defisit neraca pembayaran, maupun untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Surutnya campur tangan pemerintah ini, telah mengakibatkan banyak industri di negara-negara berkembang yang mengalami kebangkrutan, karena kalah dalam persaingan pasar bebas. Keadaan ini menyebabkan banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatnya angka pengangguran. Akibat selanjutnya, selain menurunnya pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatnya angka kemiskinan.
Sebuah laporan kritis menyimpulkan bahwa negara-negara yang menerapkan program penyesuaian struktural dengan sangat ketat, mengalami kinerja ekonomi yang sangat mengerikan; dengan peningkatan tahunan minus 0,53%. Di sisi lain, negara-negara yang menerapkan program penyesuaian struktural yang lebih longgar mengalami pertumbuhan sebesar 2% (dua persen), tetapi yang mengejutkan ialah negara-negara yang tidak menjalankan program-program penyesuaian struktural justeru mengalami pertumbuhan sebesar 3,5% per tahun.6 ILO memperkirakan bahwa presentase penduduk dunia yang berada di bawah garis kemiskinan meningkat dari 53,5% di tahun 1985, menjadi 54% di tahun 1990 di sub-Sahara Afrika, dari 23% menjadi 27,8% di Amerika Latin, dan menurun dari 61,1% menjadi 59% di Asia Selatan, dan dari 15,7% menjadi 14,7% di Asia Tenggara dan Asia Timur.
Dalam laporan UNDP tahun 2001, proporsi kemiskinan dunia meningkat dengan tajam. Antara tahun 1996 dan 1999, proporsi orang hidup di bawah garis kemiskinan bertambah dari 18 persen menjadi 24 persen dari jumlah penduduk dunia. Kondisi kemiskinan menjadi semakin parah karena pendapatan kaum miskin secara keseluruhan menurun jauh di bawah garis kemiskinan. Di Indonesia, secara keseluruhan total jumlah penduduk miskin pada tahun 2000 mencapai 46,7 juta orang; naik dua kali lipat dari tahun 1995, yakni sebesar 27 juta orang.
Krisis ekonomi 1997 juga telah mendorong terjadinya pemutusan hubungan
kerja besar-besaran di Indonesia. Sebelum krisis berlangsung, ketika pertumbuhan ekonomi masih berkisar angka 7%, angka pengangguran terbuka mencapai 7%, sedangkan angka pengangguran terbuka terdidik mencapai angka 18,6%. Setelah terjadinya krisis, angka tersebut meningkat menjadi sekitar 17,1% atau sekitar 15,4 juta orang.
            Antara tahun 1997 dan 1998 inflansi di Indonesia meningkat dari 6% menjadi
78%, sementara upah riil turun menjadi hanya sekitar sepertiga dari nilai sebelumnya. Daya beli masyarakat menurun karena ketidaksesuaian antara pendapatan dan pengeluaran, akibatnya semakin tinggi harga barang-barang kebutuhan pokok, maka semakin besar pula jumlah penduduk yang menjadi miskin.
           



Pada tingkat global, Hirts dan Thompson10 menunjukkan bahwa sebagian besar arus investasi hanya mengalir di tiga wilayah (triad) pokok, yakni Jepang, Amerika Utara, dan Uni Eropa. Belakangan arus investasi tersebut menyebar ke negara-negara Asia Timur. Cina menjadi salah satu penerima investasi terbesar dunia saat ini. Data UNCTAD Programme on Transnational Corporations menyebutkan bahwa pada tahun 1990, arus investasi dari Uni Eropa ke Amerika Utara sebesar 7% dari aliran investasi dunia, sedangkan aliran investasi dari Amerika Utara ke Uni Eropa sebesar 8,4%. Aliran investasi dari Jepang dan Uni Eropa dan begitu sebaliknya menempati ranking tertinggi. Aliran investasi Jepang ke negara-negara Uni Eropa menunjukkan angka 45,5%, sedangkan aliran investasi Uni Eropa ke Jepang sebesar 46,8%. Selanjutnya, aliran investasi dari Jepang ke Amerika Utara sebesar 7,3%, dan dari Amerika Utara ke Jepang sebesar 23,0%.
Data di bidang perdagangan dunia, juga menunjukkan kecenderungan yang
kurang lebih sama. Negara-negara maju yang tergabung dalam Triad masih memegang peran penting perdagangan dunia di tambah Cina dan negara-negara industri baru di kawasan Asia Timur, seperti Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Tujuan ekspor dunia antara tahun 1965-1995, yang dihitung berdasarkan total ekspor saat itu, yang berlangsung antar negara maju rata-rata mencapai 52,3%, antara negara maju dan berkembang 35,7% dan antar negara berkembang sebesar 8%.
            Data yang dikemukakan di atas, merupakan petunjuk bahwa globalisasi telah memunculkan ketidak-adilan dan memperluas kemiskainan. Globalisasi hanya semakin memajukan negara-negara maju, sedangkan negara-negara berkembang justeru menjadi semakin miskin. Kemiskinan tersebut akan berdampak buruk terhadap demokrasi.
            Pengaruh yang ditimbulkan akibat memburuknya kemiskinan, terhadap demokrasi dapat dilihat dalam dua sisi.13 Pertama, meskipun pertumbuhan ekonomi tidak mempunyai kaitan langsung dengan sistem politik demokrasi, tetapi meningkatnya kesejahteraan dan semakin tingginya tingkat pendidikan sebagai akibat pembangunan ekonomi telah menjadi faktor penting dalam mendorong demokratisasi sistem politik suatu negara.14 Perlu biaya-biaya ekstra untuk menciptakan suatu kondisi yang menguntungkan bagi demokrasi; seperti akses informasi yang murah dan ketersediaan pendidikan yang berkualitas tetapi terjangkau. Ini tidak berarti bahwa dalam suatu masyarakat dengan tingkat kesejahteraan minimal tidak dapat tumbuh demokrasi, tetapi dalam kondisi kearah demokrasi akan jauh lebih baik dalam suatu masyarakat dimana tingkat kesejahteraan di atas rata-rata, kemudahan dalam akses pelayanan kesehatan, dan pendidikan.
            Kedua, kerentanan masyarakat dalam hal kesejahteraan terutama menyangkut pemenuhan hak-hak dasar mereka yang menyangkut sandang, pangan, dan papan, akan cenderung memberi ruang bagi munculnya instabilitas yang mengundang negara melakukan tindakan-tindakan represif. Ini akan menciptakan suatu bentuk otoritarianisme baru yang akan membuat impian ke arah demokrasi menjadi semakin jauh. Dengan demikian, gerakan ke arah demokratisasi tidak lagi terbatas pada institusi-institusi politik demokratis dan penyadaran akan hak-hak politik warga negara, tetapi juga melibatkan program pengentasan kemiskinan yang lebih luas dengan cara menciptakan sistem-sistem pengaturan ekonomi yang lebih bisa menciptakan kemakmuran dan keadilan bagi sebagian besar masyarakat sesuai dengan prinsip demokrasi, dimana yang mayoritas yang akan mengelola.
            George Soros dalam The Crisis of Global Capitalism (1998), menjelaskan bahwa ada suatu anggapan yang keliru bahwa demokrasi dan kapitalisme berjalan seiringan. Dalam realitas, hubungan antara demokrasi dengan kapitalisme tersebut sangat kompleks. Menurutnya, kapitalisme membutuhkan demokrasi sebagai kekuatan pengimbang, karena sistem kapitalisme tidak memiliki kecenderungan untuk mencapai keseimbangan. Para pemilik modal selalu berusaha memaksimumkan keuntungan mereka, dan apabila hal itu dibiarkan lepas tanpa kendali, tentulah mereka akan berupaya untuk mengakumulasikan modal sampai pada suatu tingkat ketidak seimbangan. Pandangan ini, mengisyaratkan bahwa demokrasi seharusnya berfungsi untuk mengendalikan sistem kapitalisme. Artinya negara dan hukum harus memainkan peran sebagai pengendali dalam perekonomian global.
            Persoalannya adalah demokrasi di banyak negara sudah tidak lagi dapat berperan dalam mengendalikan sistem kapitalisme. Banyak produk legislasi dan kebijakan pemerintah yang lebih memihak pada kepentingan pemilik modal. Karena itu hukum positif yang ada sulit untuk dapat melakukan pengendalian kiprah kapitalisme global. Situasi yang demikian tentu akan mengakibatkan semakin memburuknya keadilan dan tingkat kesejahteraan rakyat banyak.
            Penjelasan ini sekaligus menunjukkan bahwa neoliberalisme yang berada dibalik globalisasi ekonomi, berdampak menimbulkan krisis demokrasi di negara-negara berkembang dan pada gilirannya juga berdampak pada munculnya krisis di bidang hukum. Hukum hanya akan menjadi alat untuk memenuhi kepentingan kaum elit. Dalam situasi hukum yang elitis, penerapan hukum menurut tradisi berpikir legalpositivism, akan mengakibatkan hukum hanya mengabdi kepada kepentingan elit. Karena itu, apabila hukum ingin diabdikan pada keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak, hal itu hanya mungkin diwujudkan, apabila penerapannya dilakukan dengan cara-cara yang progresif.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar